Selasa, 14 April 2009

ISTIGHFAR DAN TRAGEDI BELALANG

"Tidaklah dipandang dosa kecil apabila dilakukan terus-menerus dan tidaklah dipandang dosa besar suatu kesalahan yang diikuti dengan istighfar." (Nabi Muhammad Saw)
Sebagai makhluk moral yang dianugerahi akal dan kalbu manusia menduduki posisi mulia di antara makhluk-makhluk lain. Akan tetapi dalam bersikap atau berprilaku, demi kepuasan diri sendiri, seseorang terkadang menempuh cara-cara yang tidak selaras dengan keluhuran akal dan kalbunya dan martabat kemanusiaannya. Antara lain ditunjukkan pada sikapnya dalam memandang kehidupan dan kematian sebagai realitas yang niscaya. Dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw dilukiskan bahwa kehidupan adalah momentum bagi manusia untuk menghimpun bekal kebaikan buat dirinya sedangkan kematian adalah momentum pembebasan dari segala keburukan. Ironisnya manusia sering tidak proporsional dalam memandang keduanya, bahkan terkadang menempuh sikap yang kontradiktif. Yaitu menjadikan kehidupannya sebagai momentum penghimpunan dosa dan kesia-siaan dan kematiannya tidak menjadi momentum pembebasan bahkan sebagai momentum pembebanan yang sarat dengan keburukan. Bisa jadi cara-cara kontradiktif itu menyebabkan dirinya terjerembab ke dalam posisi hina. Seolah-olah potensi akal, kalbu, dan kebebasannya menjadi tumpul untuk sekedar dapat membedakan dan memilih secara tepat antara yang benar dan yang salah atau antara yang menyelamatkan dan yang mencelakakan. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS, al-A’raf [7]: 179) Kenyataan seperti itu boleh jadi mengindikasikan salah satu kelemahan eksistensialnya, terutama kelemahan biologisnya, yang dinyatakan oleh Sang Penciptanya sendiri. “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS, al-Nisa [4]: 28). Menurut Erich Fromm kelemahan itu antara lain merupakan perwujudan dikotomi-dikotomi eksistensial yang melingkupinya. Dikatakan pula bahwa manusia memiliki kutub positif dan kutub negatif yang mewakili realitas konkret yang mempengaruhi situasi kemanusiaannya. Kelemahan manusia antara lain ditunjukkan pada ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan dirinya yang tanpa batas. Hal itu diciptakan dengan sengaja agar ia mengerti dan sadar bahwa dirinya adalah hamba Allah dan bahwa dunia ini adalah tempat tinggalnya yang sementara. Dalam satu sisi kesadaran itu dapat mencegah dirinya terjerembab ke dalam dominasi sifat tiranik. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,. karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (QS, al-‘Alaq [96]: 6-7). Di sisi lain kesadaran itu dapat pula menumbuhkan kesadaran yang lain bahwa dirinya memiliki peluang untuk berusaha meraih kelebihan derajat pasca kehidupan di dunia ini dan selanjutnya ia bekerja keras mempeoleh penyelesaian baru dan peningkatan kualitas dirinya hingga mencapai martabat tertinggi,yaitu taqwa. Cara-cara kontradiktif yang ditempuh manusia anatara lain ditampakkan dalam persepsi, sikap, dan perbuatannya terhadap sesuatu yang oleh agama dinyatakan sebagai dosa. Manusia dalam menyikapi dosa-dosa, baik dosa besar, apalagi dosa kecil, sangat beragam. Keragaman itu jelas mencerminkan perbedaan dalam mempersepsi sebuah perbuatan dosa serta suasana batin yang membentuknya. Sebagian orang, mempersepsi dosa kecil sebagai dosa yang bisa diremehkan. Bahkan mereka tidak merasa berdosa ketika melakukannya. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka yang terus melakukannya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya orang-orang yang telah mencapai kemajuan spiritualnya yang tinggi sangat menghindari segala sesuatu yang berbau dosa bahkan sesuatu yang tidak patut sekalipun. Sesungguhnya persepsi, sikap, dan prilaku seseorang yang meremehkan dosa-dosa kecil mengandung tiga kesalahan. Kesalahan pertama adalah bersifat substansial, yaitu persepsi dan sikapnya terhadap dosa kecil yang seolah-olah bisa diremehkan yang menyebabkan dirinya terus-menurus melakukannya tanpa merasa berdosa. Bukankah ketika kita melakukan dosa pada hakikatnya sedang mengalahgunakan hakikat karunia kebebasan kita sebagai makhluk moral? Kesalahan kedua adalah bersifat normatif, yaitu ketidakpeduliannya kepada siapa dirinya berdosa. Bukankah ketika kita melakukan dosa, sekecil apa pun dosa itu, pada hakikatnya kita sedang melakukan pembangkangan terhadap kehendak Yang Maha Mulia, Maha Agung, dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Kesalahan ketiga adalah bersifat kesejarahan, yaitu membebani perjalanan jauh kita menuju Allah dengan beban sejarah berupa lumuran dosa. Bukankah para malaikat penjaga diberi tugas khusus oleh Allah swt untuk mencatat setiap amal perbuatan, ucapan, bahkan niat yang terbersit dalam hati setiap manusia? "Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS, al-Infithar [82]:10-12) - ABU RIDHO -